
Lima, Peru – 6 Juli 2025 – Presiden Peru, Dina Boluarte, kembali menjadi sorotan tajam setelah pemerintahannya secara resmi mengesahkan kenaikan gaji presiden di tengah merosotnya tingkat kepercayaan publik yang kini hanya menyentuh angka 2 persen—terendah dalam sejarah politik modern Peru. Langkah ini menuai kecaman luas dari parlemen, organisasi masyarakat sipil, serta media internasional yang menyebutnya sebagai simbol disonansi antara elit dan rakyat.
💵 Kenaikan Gaji Presiden: Dari 15.500 Soles Menjadi 18.000 Soles
Dalam dokumen resmi yang diterbitkan oleh Kementerian Ekonomi dan Keuangan Peru, disebutkan bahwa gaji presiden dinaikkan dari 15.500 menjadi 18.000 soles per bulan (setara sekitar Rp74 juta), dengan alasan “penyesuaian fiskal dan kebutuhan penguatan kelembagaan kepresidenan”.
Namun, yang membuat kebijakan ini menuai kontroversi adalah waktunya yang dianggap tidak etis, karena:
-
Dilakukan saat approval rating presiden hanya 2%, berdasarkan survei Datum Internacional.
-
Terjadi di tengah protes nasional terkait biaya hidup, pengangguran, dan krisis pendidikan.
-
Belum ada transparansi soal pemotongan anggaran untuk kompensasi kenaikan tersebut.
📉 Krisis Legitimasi dan Tuduhan Otoritarianisme
Sejak menjabat pasca pemakzulan Presiden Pedro Castillo pada Desember 2022, Dina Boluarte menghadapi protes masif, krisis legitimasi, dan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Penindakan terhadap demonstrasi rakyat yang menewaskan lebih dari 60 orang pada 2023 meninggalkan luka sosial yang belum pulih.
Dengan keputusan kenaikan gaji ini, oposisi dan aktivis HAM menyebut pemerintahan Boluarte sebagai “otoriter yang lepas dari realitas sosial.” Parlemen pun mempertimbangkan kembali wacana pemungutan suara mosi tidak percaya, meskipun sebelumnya gagal karena koalisi minoritas tidak cukup kuat.
“Kenaikan gaji bukan hanya soal angka, tapi soal moralitas kepemimpinan. Ketika rakyat lapar, pemimpinnya tidak boleh makan pesta,” ujar Luis Rivas, anggota parlemen dari Partai Aksi Rakyat.
🧭 Narasi Pemerintah: “Kebutuhan untuk Efisiensi Kepresidenan”
Kantor Kepresidenan merespons kritik dengan mengatakan bahwa kenaikan ini “merupakan bagian dari restrukturisasi kelembagaan dan penguatan profesionalisme pejabat tinggi negara”. Pemerintah juga menambahkan bahwa gaji Presiden Peru tetap termasuk yang “paling rendah di antara kepala negara Amerika Latin.”
Namun pernyataan itu tak banyak membantu mengurangi kemarahan publik. Di media sosial, tagar seperti #FueraBoluarte (Turunkan Boluarte) dan #NoEsElMomento (Ini Bukan Waktunya) menjadi trending di Twitter Peru dan regional.
📌 Kesimpulan: Simbol Ketimpangan dan Lemahnya Respons Kepemimpinan
Dalam konteks krisis sosial dan politik berkepanjangan, langkah Dina Boluarte menaikkan gaji kepresidenan tanpa konsultasi publik dan tanpa sensitivitas sosial menjadi simbol ketimpangan antara elit politik dan masyarakat akar rumput. Alih-alih memperkuat kepercayaan, kebijakan ini justru mempercepat delegitimasi terhadap institusi kepresidenan.
“Jika ini bukan penistaan publik, lalu apa?,” tulis editorial tajam media ternama La República.